Foto: M Rofiq
Jakarta - Bangsa yang besar adalah bangsa yang terus mengingat jasa pahlawannya. Namun, sebagai bangsa yang besar di era digital, ingatan atas heroisme para pejuang negeri ini harus ditransformasikan sebagai keberanian generasi milenial untuk berkontestasi menggunakan ide-ide kreatif. Kontestasinya meluas pada spektrum antarnegara, lintas benua.
Saat ini, tantangan bangsa kita tidak lagi berjuang menghadapi musuh berupa negara-negara penjajah. Itu tantangan satu abad hingga tujuh dekade yang lalu, ketika kolonialisme masih menjadi bagian dari interkoneksi antarbangsa. Tantangan pada masa kini, pada era digital, tentu sangat berbeda: dengan segenap kompleksitas perang ekonomi, diplomasi lintas negara, kontestasi identitas, hingga perebutan energi antarkorporasi.
Kita hidup pada lapisan generasi yang berbeda dengan Bung Karno, Hatta, Sjahrir, Kiai Wahid Hasyim. Kita menyelami kehidupan berbangsa dengan segenap konflik, silang sengkarut masalah, hingga tarik menarik kepentingan, yang mungkin saja lebih kompleks dari apa yang terjadi pada masa lampau. Tapi, setiap zaman punya kerumitan masing-masing, punya tantangan yang berbeda. Pada titik inilah, pahlawan dan narasi heroik yang menyertainya selalu menemukan momentumnya.
Kita hidup pada zaman di mana penetrasi dan inovasi digital menjadi bagian dari anugerah sekaligus musibah bagi manusia masa kini. Kita hidup pada zaman di mana narasi kepahlawanan dicatat dengan cara yang berbeda dibandingkan tujuh dekade silam.
Lapisan generasi muda Indonesia akan memasuki tantangan dunia yang disebut Yuval Noah Harari (2018) sebagai "the age of algorithm". Dengan percepatan inovasi teknologi, serta tumbuhnya perusahaan raksasa di bidang digital, riset-riset untuk mencipta mesin-mesin canggih yang dilengkapi artificial inteligence (AI) sangat memanjakan manusia.
Di sisi lain, perkembangan inovasi digital sebagai era algoritma menjadikan segala aktivitas manusia dapat dipantau oleh mesin-mesin cerdas dalam hitungan detik. Peradaban manusia bergeser menjadi data-data, yang diolah sebagai instrumen 'aspirasi' politik, maupun dikapitalisasi sebagai pasar oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk target promosi produk terbaru.
Lalu, bagi generasi milenial, bagaimana pahlawan yang sesungguhnya pada masa kini? Bagaimana kita memaknai heroisme pejuang kita, untuk bangsa Indonesia sekarang ini?
Indonesia sedang menghadapi tantangan zaman berupa penetrasi teknologi yang demikian masif, namun belum dibarengi dengan literasi digital yang signifikan. Tantangan terbesar bangsa ini yakni bagaimana memanfaatkan kreatifitas di bidang teknologi, inovasi media, hingga kecanggihan AI untuk menyebarkan kebaikan yang merata. Jika kita tidak sanggup menghadapi gelombang pasang teknologi, maka bencana menghadang di depan mata: bersiaplah ditelan gelombang pasang era algoritma.
Sementara, bekal pendidikan dan keahlian bagi pekerja di Indonesia masih memprihatikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis 2017 lalu menunjukkan betapa daya saing tenaga kerja dari Indonesia masih sangat lemah. Tingkat pendidikan bagi angkatan kerja di negeri kita masih didominasi oleh pekerja yang mengenyam Sekolah Dasar mencapai 42,23%. Pekerja lulusan SMP sebanyak 18,16%, lalu SMA (16,48%), SMK (10,87%), Diploma (2,95%), dan Universitas (9,31%).
Dari catatan BPS, terpapar kegetiran berupa angka pengangguran sekitar 7 juta orang dari 131,54 juta penduduk usia produktif. Ini sungguh ironi yang menghantui negeri ini, yang harus dipecahkan dengan solusi berkelanjutan.
Pahlawan di Era Digital
Indonesia juga menjadi laboratorium untuk menyemai gagasan bagi anak-anak muda kreatif. Di era digital ini, generasi muda yang siap bekerja keras, inovatif, konsisten dengan gagasannya akan mampu membuka pintu bagi masa depan diri dan komunitasnya. Terbukti, mereka yang bekerja keras, superkreatif, serta tahan banting untuk mewujudkan ide-ide cemerlangnya akan mencipta sejarah.
Di era digital ini, dengan pengguna internet yang demikian luas, baik secara geografis maupun batasan umur, memungkinkan Indonesia sebagai raksasa di bidang ekonomi digital. Presiden Joko Widodo berulang kali mengkampanyekan betapa Indonesia sangat berpeluang sebagai raksasa Asia Tenggara dalam kontestasi ekonomi digital. Dengan pengguna internet yang demikian masif dan terus tumbuh, Indonesia menjadi lahan subur untuk menguji ide-ide kreatif yang dieksekusi dalam persaingan bisnis di era digital.
Untuk itu, pemerintah Indonesia telah mendorong tumbuhnya pebisnis-pebisnis muda yang bergerak kreatif yang memulai merintis usaha berbasis digital. Dengan menyiapkan infrastruktur digital, di antaranya berupa proyek Palapa Ring, yang berusaha mengkoneksikan kawasan dari Sabang hingga Merauke dengan layanan digital yang lebih kuat dan cepat. Kebijakan 1000 pebisnis digital (start-up) pada 2020 juga menjadi bagian untuk mendorong generasi muda berani mengeksekusi ide-ide kreatifnya, seraya menaklukkan tantangan dari kontestasi bidang ini.
Apalagi, telah tumbuh beberapa perusahaan perintis yang berstatus 'unicorn', yang memiliki valuasi di atas US$ 1 miliar (sekitar Rp 13,8 triliun). Di antaranya Gojek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. Ekspansi Gojek sebagai perusahaan layanan digital bidang transportasi, dengan valuasi lebih dari US$ 61,6 miliar, membuktikan bagaimana ide-ide kreatif yang digarap serius, mampu menjawab tantangan di bidang transportasi.
Saat ini, Gojek bersama Traveloka, Tokopedia dan Bukalapak tumbuh sebagai perusahaan-perusahaan dengan visi dan wajah generasi milenial negeri ini. Hadirnya beberapa perusahaan digital dari Amerika Serikat, China, Korea, Singapura, serta ekspansi kapital yang menyertainya menunjukkan betapa Indonesia tidak hanya pasar digital, namun juga laboratorium digital yang memungkinkan ide-ide kreatif tumbuh dalam ekosistem yang dinamis.
Lapisan generasi Indonesia masa kini dan mendatang menghadapi tantangan yang sama sekali berbeda dengan apa yang diperjuangkan pendiri bangsa. Jejak heroik para pahlawan bangsa harus kita peras saripati dan teladannya untuk ditransformasikan pada masa kini. Kerja keras, kreativitas, keteguhan, solidaritas, sekaligus integritas sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus kita hadirkan pada pertarungan kekuatan dan kreativitas di era ini.
Pahlawan-pahlawan milenial haruslah tampil untuk menjadikan bangsa Indonesia tidak sebagai pasar digital, namun sebagai pemain aktif dalam kontestasi digital masa kini.
Munawir Aziz Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, sedang riset di Southampton, United Kingdom
Saat ini, tantangan bangsa kita tidak lagi berjuang menghadapi musuh berupa negara-negara penjajah. Itu tantangan satu abad hingga tujuh dekade yang lalu, ketika kolonialisme masih menjadi bagian dari interkoneksi antarbangsa. Tantangan pada masa kini, pada era digital, tentu sangat berbeda: dengan segenap kompleksitas perang ekonomi, diplomasi lintas negara, kontestasi identitas, hingga perebutan energi antarkorporasi.
Kita hidup pada lapisan generasi yang berbeda dengan Bung Karno, Hatta, Sjahrir, Kiai Wahid Hasyim. Kita menyelami kehidupan berbangsa dengan segenap konflik, silang sengkarut masalah, hingga tarik menarik kepentingan, yang mungkin saja lebih kompleks dari apa yang terjadi pada masa lampau. Tapi, setiap zaman punya kerumitan masing-masing, punya tantangan yang berbeda. Pada titik inilah, pahlawan dan narasi heroik yang menyertainya selalu menemukan momentumnya.
Kita hidup pada zaman di mana penetrasi dan inovasi digital menjadi bagian dari anugerah sekaligus musibah bagi manusia masa kini. Kita hidup pada zaman di mana narasi kepahlawanan dicatat dengan cara yang berbeda dibandingkan tujuh dekade silam.
Lapisan generasi muda Indonesia akan memasuki tantangan dunia yang disebut Yuval Noah Harari (2018) sebagai "the age of algorithm". Dengan percepatan inovasi teknologi, serta tumbuhnya perusahaan raksasa di bidang digital, riset-riset untuk mencipta mesin-mesin canggih yang dilengkapi artificial inteligence (AI) sangat memanjakan manusia.
Di sisi lain, perkembangan inovasi digital sebagai era algoritma menjadikan segala aktivitas manusia dapat dipantau oleh mesin-mesin cerdas dalam hitungan detik. Peradaban manusia bergeser menjadi data-data, yang diolah sebagai instrumen 'aspirasi' politik, maupun dikapitalisasi sebagai pasar oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk target promosi produk terbaru.
Lalu, bagi generasi milenial, bagaimana pahlawan yang sesungguhnya pada masa kini? Bagaimana kita memaknai heroisme pejuang kita, untuk bangsa Indonesia sekarang ini?
Indonesia sedang menghadapi tantangan zaman berupa penetrasi teknologi yang demikian masif, namun belum dibarengi dengan literasi digital yang signifikan. Tantangan terbesar bangsa ini yakni bagaimana memanfaatkan kreatifitas di bidang teknologi, inovasi media, hingga kecanggihan AI untuk menyebarkan kebaikan yang merata. Jika kita tidak sanggup menghadapi gelombang pasang teknologi, maka bencana menghadang di depan mata: bersiaplah ditelan gelombang pasang era algoritma.
Sementara, bekal pendidikan dan keahlian bagi pekerja di Indonesia masih memprihatikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis 2017 lalu menunjukkan betapa daya saing tenaga kerja dari Indonesia masih sangat lemah. Tingkat pendidikan bagi angkatan kerja di negeri kita masih didominasi oleh pekerja yang mengenyam Sekolah Dasar mencapai 42,23%. Pekerja lulusan SMP sebanyak 18,16%, lalu SMA (16,48%), SMK (10,87%), Diploma (2,95%), dan Universitas (9,31%).
Dari catatan BPS, terpapar kegetiran berupa angka pengangguran sekitar 7 juta orang dari 131,54 juta penduduk usia produktif. Ini sungguh ironi yang menghantui negeri ini, yang harus dipecahkan dengan solusi berkelanjutan.
Pahlawan di Era Digital
Indonesia juga menjadi laboratorium untuk menyemai gagasan bagi anak-anak muda kreatif. Di era digital ini, generasi muda yang siap bekerja keras, inovatif, konsisten dengan gagasannya akan mampu membuka pintu bagi masa depan diri dan komunitasnya. Terbukti, mereka yang bekerja keras, superkreatif, serta tahan banting untuk mewujudkan ide-ide cemerlangnya akan mencipta sejarah.
Di era digital ini, dengan pengguna internet yang demikian luas, baik secara geografis maupun batasan umur, memungkinkan Indonesia sebagai raksasa di bidang ekonomi digital. Presiden Joko Widodo berulang kali mengkampanyekan betapa Indonesia sangat berpeluang sebagai raksasa Asia Tenggara dalam kontestasi ekonomi digital. Dengan pengguna internet yang demikian masif dan terus tumbuh, Indonesia menjadi lahan subur untuk menguji ide-ide kreatif yang dieksekusi dalam persaingan bisnis di era digital.
Untuk itu, pemerintah Indonesia telah mendorong tumbuhnya pebisnis-pebisnis muda yang bergerak kreatif yang memulai merintis usaha berbasis digital. Dengan menyiapkan infrastruktur digital, di antaranya berupa proyek Palapa Ring, yang berusaha mengkoneksikan kawasan dari Sabang hingga Merauke dengan layanan digital yang lebih kuat dan cepat. Kebijakan 1000 pebisnis digital (start-up) pada 2020 juga menjadi bagian untuk mendorong generasi muda berani mengeksekusi ide-ide kreatifnya, seraya menaklukkan tantangan dari kontestasi bidang ini.
Apalagi, telah tumbuh beberapa perusahaan perintis yang berstatus 'unicorn', yang memiliki valuasi di atas US$ 1 miliar (sekitar Rp 13,8 triliun). Di antaranya Gojek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. Ekspansi Gojek sebagai perusahaan layanan digital bidang transportasi, dengan valuasi lebih dari US$ 61,6 miliar, membuktikan bagaimana ide-ide kreatif yang digarap serius, mampu menjawab tantangan di bidang transportasi.
Saat ini, Gojek bersama Traveloka, Tokopedia dan Bukalapak tumbuh sebagai perusahaan-perusahaan dengan visi dan wajah generasi milenial negeri ini. Hadirnya beberapa perusahaan digital dari Amerika Serikat, China, Korea, Singapura, serta ekspansi kapital yang menyertainya menunjukkan betapa Indonesia tidak hanya pasar digital, namun juga laboratorium digital yang memungkinkan ide-ide kreatif tumbuh dalam ekosistem yang dinamis.
Lapisan generasi Indonesia masa kini dan mendatang menghadapi tantangan yang sama sekali berbeda dengan apa yang diperjuangkan pendiri bangsa. Jejak heroik para pahlawan bangsa harus kita peras saripati dan teladannya untuk ditransformasikan pada masa kini. Kerja keras, kreativitas, keteguhan, solidaritas, sekaligus integritas sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus kita hadirkan pada pertarungan kekuatan dan kreativitas di era ini.
Pahlawan-pahlawan milenial haruslah tampil untuk menjadikan bangsa Indonesia tidak sebagai pasar digital, namun sebagai pemain aktif dalam kontestasi digital masa kini.
Munawir Aziz Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, sedang riset di Southampton, United Kingdom